![]() |
SEKOLAH HARAPAN SEKOLAH BEBAS KORUPSI |
Teten Masduki
Fasli Jalal
Bambang Wisudo
Ade Irawan
Dedi Rosadi
Agus Rustandi
Agus F. Hidayat
Heri Muhammad Fajar
Penyunting Bahasa: Edi Subkhan
Diterbitkan oleh
ICW - Sekolah Tanpa Batas - HIVOS
Jl Kalibata Timur IV/D No. 6
Jakarta Selatan, DKI, Jakarta, Indonesia - __740
Telp: +6_ __ 790_885, 79940_5, Fax: +6_ __ 7994005
Jakarta _0__
Daftar Isi
Kata Pengantar Teten Masduki 5
Kata Pengantar Fasli Jalal 9
Ucapan Terimakasih 13
Pengantar
17
Menumbuhkan Kesadaran, Memulai Perubahan 25
Dari Desa Terpencil Perubahan Terjadi 43
Ade Manadin: Kisah Seorang Pejuang Sekolah 55
Ketika Ibu Guru Mendobrak Kebekuan Sekolah 61
Resep G_W Membangun Gerakan 91
Sulitnya Mencairkan Kebekuan 111
Melawan Korupsi, Memberdayakan Sekolah 123
Catatan Penutup
151
Lampiran
155
Tentang Penulis
304
Kata Pengantar
Demokratisasi Sekolah
Teten Masduki
sekolah dan masyarakat keduanya tidak bisa dipisahkan. Keadaaan
sebuah sekolah tidak bisa dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya, karena ia
membentuk dan dibentuk oleh masyarakat sekitarnya. Dari banyak pengalaman,
peranan sekolah dalam memajukan masyarakat akan sangat ditentukan oleh
hubungan-hubungan yang demokratis di antara unsur-unsur pengelolanya, yaitu kepala
sekolah, guru, siswa, dan orangtua murid.
Namun sejauh ini sekolah lebih mencerminkan kekuasaan
birokrasi pendidikan dengan representasi Kepala Sekolah yang memiliki kekuasaan
begitu besar dalam mengelola anggaran,
kurikulum dan para guru. Kepala sekolah cenderung membangun kerajaaan
kecil dengan beberapa orang guru yang tunduk kepadanya, dan jangan heran kalau
banyak penyimpangan dalam pengelolaan sekolah, karena hampir tidak ada yang
mengawasi mereka kecuali pengawasan dari birokrasi pendidikan di atasnya yang
datang ke sekolah biasanya hanya untuk mengambil uang setoran dari kepala
sekolah sehingga tutup mata terhadap praktek-praktek penyimpangan yang terjadi.
Para guru umumnya, yang bukan bagian dayangdayang kepala
sekolah, meskipun mengetahui banyak penyimpangan pengelolaan dan anggaran
sekolah tidak bisa berbuat banyak dalam berhadapan dengan kekuasaan kepala
sekolah yang menentukan nasib mereka. Pengalaman dikekang selama 32 tahun di
bawah Pemerintahan otoriter Orde Baru, yang melakukan penunggalan dan
depolitisasi organisasi guru di bawah PGRI, hingga kini pengaruhnya masih kuat
membelenggu akal sehat dan keberanian mereka untuk menjadi penyeimbang
kekuasaan dominan kepala sekolah.
Guru, seperti digambarkan oleh aktivis reformasi pendidikan
Ade Irawan, karena tidak berani menuntut haknya ke atas, maka lebih suka mecari
uang ke bawah, dan tidak sedikit yang mengeksploitasi diri sendiri seperti mengajar
di banyak tempat, menjadi tukang ojek dan lain sebagainya.
Di sisi lain, perhatian masyarakat terhadap sekolah masih rendah.
Umumnya orangtua murid hanya menghendaki anaknya menjadi pintar tetapi tidak
mau tahu urusan anggaran pendidikan dan pengelolaan sekolah. Karena itu cenderung
tidak terlalu memasalahkan berbagai pungutan yang dilakukan sekolah, atau membayar mahal untuk kualitas pendidikan
yang buruk.
Sejak diterapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) dan
berbasis masyarakat, dengan perangkat Komite Sekolah di tingkat sekolah dan Komite
Pendidikan di tingkat kota atau kabupaten, secara prosedural sebenarnya sudah
mengadopsi prinsip desentralisasi dan cara-cara demokratis dalam pengelolaan
pendidikan. Di Chicago Amerika Serikat, perlu gerakan masyarakat yang
bertahuntahun dan melelahkan untuk melahirkan model pengelolaan pendidikan partisipatif
semacam itu, mulai dari penyusunan anggaran, kurikulum, pengangkatan kepala
sekolah dan kesejahteraan guru.
Namun di sini model pengelolaan pendidikan yang ditransplantasi
dari pengalaman negara maju itu tidak serta merta melahirkan demokratisasi
dalam pengelolaan sekolah. Penyusunan APBS partisipatif misalnya dalam kenyataannya
masih jauh dari harapan, masih tetap menjadi domain kekuasaan kepala sekolah.
Karena di sini pilarpilar utama dari governance sekolah sesungguhnya belum
terbentuk, yaitu hadirnya guru yang kritis, independen dan teroganisir, representasi
orangtua murid yang aktif, dan kekuasaan
limitatif kepala sekolah.
Pengalaman dari gerakan APBS partisipatif di sejumlah sekolah
dasar di Garut dan Tangerang, yang difasilitasi oleh ICW dan GGW, yang ditulis secara menarik
dalam buku ini, memberikan pembelajaran bagi kita semua bagaimana mewujudkan
harapan mendemokratisasi pengelolaan sekolah. Yang dalam hal ini, perlu dicatat
bahwa hadirnya penganggaran sekolah yang partisipatif selalu dimulai dari
kepeloporan satu dua orang guru idealis, yang melakukan hal-hal besar melampaui
kemampuan dan kepentingannya sendiri untuk tujuan memajukan sekolah dan
masyarakatnya.
Kesadaran akan pentingnya institusi sekolah untuk memajuan
kulitas hidup masyarakat, itulah yang barangkali menggerakan figur-figur pantang
menyerah seperti Kaspi dan Ade
Manadin, Kepala Sekolah dan guru
SDN Tegalgede 2 Garut untuk mengelola sekolah secara jujur dan partisipatif.
Mengkorupsi dana pendidikan, merampok anggaran sekolah sama saja dengan menghambat
kemajuan masyarakat.
Pengelolaan anggaran sekolah yang partisipatif terbukti manjur
untuk mengurangi korupsi dalam pengelolaan anggaran sekolah, sehingga dengan
angaran yang terbatas sekalipun bisa dioptimalkna sepenuhnya untuk peningakatan
sarana belajar dan mengajar. Namun gerakan reformasi pendidikan jangan berhenti
sampai di situ, tapi bagaimana menghadirkan mekanisme perencanaan kebijakan dan
penganggaran sekolah menjadi sarana demokrasi dalam perumusan kurikulum, kesejahteraan
guru, pengangkatan kepala sekolah dan lain sebagainya.
Di tingkat nasional gerakan reformasi pendidikan harus terus
mengoptimasikan desentralisasi pengelolaan anggaran pendidikan nasional, yang
secara konstitusi sebesar 20 persen dari
APBN, secara masksimal ke sekolah-sekolah agar tidak disedot banyak oleh
birokrasi pendidikan seperti sekarang. Birokrasi pendidikan harus
disederhanakan dan karakternya harus melayani kebutuhan sekolah, bukan sebaliknya
dilayani dan memeras sekolah. Debirokratisasi pendidikan dan demokratisasi
sekolah barangkali dua agenda penting yang harus terus kita upayakan secara bersama-sama
agar betul-betul pendidikan bisa dinikmati oleh semua orang.
Teten Masduki, Sekjen Transparency International
Indonesia
DOWNLOAD EBOOK INI SELENGKAPNYA DISINI
Judul: DOWNLOAD EBOOK SEKOLAH HARAPAN SEKOLAH BEBAS KORUPSI
Ditulis Oleh Handi
Berikanlah saran dan kritik atas artikel ini. Salam blogger, Terima kasih
Post a Comment